Materi Khotib Jum’at tanggal 15 Mei 2015
Oleh
: Drs. KH. Dudung Abdurrahman
بِّسۡمِ
ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
وَٱلتِّينِ
وَٱلزَّيۡتُونِ ١ وَطُورِ سِينِينَ ٢ وَهَٰذَا ٱلۡبَلَدِ ٱلۡأَمِينِ ٣ لَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ فِيٓ أَحۡسَنِ
تَقۡوِيمٖ ٤ ثُمَّ رَدَدۡنَٰهُ أَسۡفَلَ سَٰفِلِينَ ٥ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ
فَلَهُمۡ أَجۡرٌ غَيۡرُ مَمۡنُونٖ ٦ فَمَا يُكَذِّبُكَ بَعۡدُ بِٱلدِّينِ ٧ أَلَيۡسَ ٱللَّهُ بِأَحۡكَمِ ٱلۡحَٰكِمِينَ ٨
1.
Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun
2. dan demi
bukit Sinai
3. dan demi
kota (Mekah) ini yang aman
4.
sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya
5. Kemudian
Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka)
6. kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala
yang tiada putus-putusnya
7. Maka
apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya
keterangan-keterangan) itu
8. Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya
Pertama, ”Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun.” (Q.s. 95: 1)
Sebagian
pakar tafsir ada yang mengartikan sumpah pertama ini dengan nama bukit yang ada
di Baitul Maqdis, Palestina. Ini pendapat Ikrimah. Sementara Qatadah mengatakan
bahwa Tin adalah bukit di Damaskus dan Zaitun adalah nama bukit di Baitul
Maqdis. Namun, tidak sedikit yang menyebutkan bahwa yang dimaksud di sini
adalah nama dua buah yang sudah dikenal oleh orang Arab juga manusia secara umum
yaitu buah Tin yang sangat manis dan buah Zaitun yang pahit namun banyak
manfaatnya.
Jika yang
dimaksud adalah tempat, maka konteksnya dengan menambah penafsirannya menjadi
bukit atau tempat tumbuhnya kedua buah tersebut. Yaitu di dataran Baitul
Maqdis. Gagasan ini seperti disampaikan Syihabuddin al-Alusy dalam tafsirnya.
Kedua, “Dan demi bukit Sinai.”
(Q.s. 95: 2)
Adapun
tempat kedua yang dipakai bersumpah adalah bukit Sinai yang terletak di Mesir.
Sebagian ulama menafsirannya sebagai bukit tempat Musa menerima wahyu. Menurut
Ikrimah, sinîn dalam bahasa Habasyah (Etiophia)
berarti baik .
Ketiga, ”Dan demi kota (Makkah) ini
yang aman”. (QS. 95: 03)
Makkah
disebut sebagai tempat yang aman karena dijaga Allah dari sentuhan Dajjal dan
di dalamnya terdapat Baitullah. Di sana, Nabi Muhammad saw
dilahirkan dan dibesarkan serta menerima wahyu-Nya yang pertama. Demikian
sebagaimana dituturkan sebagian besar ahli tafsir dan ulama.
Apa
hubungannya ketiga sumpah di atas dengan tema besar yang akan diusung oleh surat
at-Tîn ini. Surat yang membawa misi manusia terbaik ini selain memerlukan
kaidah yang nantinya akan disebutkan Allah, juga memerlukan contoh.
Penyebutan
ketiga kelompok sumpah tersebut seolah mengindikasikan beberapa hal:
- Sumpah dengan Buah Tin dan Zaitun yang berarti mengisyaratkan tempat asal kedua buah tersebut mengingatkan seluruh umat Islam akan perjuangan Nabi Isa yang terlahir tanpa bapak karena titah Allah, sekaligus sebagai tanda-tanda kekuasaan-Nya. Ia tumbuh bersama didikan Allah melalui ibunya seorang diri.
- Bukit Sinai memberikan isyarat tempat Nabi Musa menerima wahyu. Nabi yang juga perjuangannya tak ringan. Sejak kecil harus berpisah dengan keluarganya. Kemudian dididik oleh rezim yang kejam dan bengis tapi ditakdirkan untuk menyampaikan risalah keadilan di depan sumber dan inisiator kezhaliman yang sekaligus sebagai ayah angkatnya. Sebuah dilema yang harus dihadapi. Bahkan kisahnya termasuk cerita yang seirng diulang di dalam al-Qur’an dan menjadi simbol perlawanan tokoh protagonis yang membela kebenaran, keadilan dan orang-orang tertindas melawan simbol dan ikon kezhaliman, Fir’aun dan sekutunya.
- Negeri yang aman (Makkah) mengisyaratkan sebuah kisah epik dan kepahlawanan seorang nabi yatim yang menjadi pamungkas nabi dan rasul Allah. Nabi Muhammad saw yang ditahbiskan sebagai makhluk terbaik dari yang pernah ada dan akan ada, dengan membawa risalah yang kekal sampai hari penentuan, Hari Kiamat. Risalah yang bersifat universal, diperuntukkan kepada seluruh manusia dan jin, lintas teritorial, generasi dan waktu.
Penyebutan
sumpah di atas tidak dimaksudkan sesuai urutan waktu atau menunjuk-kan
kemuliaan satu di atas lainnya. Namun, lebih merupakan penyebutan kolektif.
Sebagaimana Allah memuliakan satu tempat di antara yang lainnya. Para ulama sepakat
bahwa Allah memuliakan Masjidil Haram melebihi masjid-masjid yang lain termasuk
Masjil al-Aqsha yang juga memiliki keutamaan dibandingkan yang lainnya.
Demikian juga, Nabi Isa diutus setelah Nabi Musa tapi disebut terlebih dahulu.
Dan mereka adalah orang terbaik di zamannya. Penyebutan Nabi Muhammad Saw di
akhir tetap tidak menutupi kemuliaan beliau sebagai manusia terbaik sepanjang
masa. Sekaligus sebagai penegasan kekekalan penjagaan Allah terhadap risalah
tauhid hingga akhir zaman. Karena umat Nabi Musa dan Nabi Isa As. yang tadinya
mengimani dan memperjuangkan serta mendakwahkan risalah tauhid, kini sebaliknya
bukan hanya mengingkari, bahkan memusuhi risalah tauhid yang dibawa Nabi
Muhammad dan para da’i penerus dakwahnya.
Manusia
Terbaik dan Manusia Terburuk
”Sesungguhnya
kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (Q.s. 95:
4)
Setelah
Allah bersumpah dengan tiga tempat di atas yang juga mengindikasikan tiga
manusia terbaik yang diciptakan dan diutus-Nya ke bumi untuk membimbing
manusia, kini giliran Allah menyampaikan maksud-Nya yang menjadi misi surat
ini. Yaitu, mengungkap tanda-tanda kekuasaan Allah Swt melalui penciptaan
manusia yang sangat dahsyat, dalam bentuk sempurna dan terbaik di antara sekian
makhluk Allah yang ada di alam ini.
Secara
fisik, manusia diberi indra terlengkap. Dibekali dengan otak dan perasaan.
Struktur tubuh dan anatominya juga bagus dan indah. Proses penciptaannya bahkan
sangat menakjubkan.
Kebaikan di
sini mencakup berbagai dimensi. Secara fisik manusia adalah makhluk Allah yang
terbaik. Meskipun ia kadang mengagumi alam ini dan isi-isinya. Namun ia akan
lebih takjub bila melihat dirinya sendiri. Jantung yang berdetak sebelum ia
dilahirkan dari rahim ibunya dan tak pernah berhenti sampai ajal mendatanginya.
Organ-organ luar yang tatanan eksteriornya sangat eksotis. Organ-organ dalam
yang sangat seimbang. Sehingga ia benar-benar menjadi manusia yang –sebenarnya-
memiliki amanah menanggung tugas kekhalifahan dan memakmurkan bumi Allah dengan
sebaik-baiknya, bukan merusaknya.
Dimensi
non-materi juga demikian. Manusia diberi rasa sedih dan gembira. Nikmat lupa
dan ingat dan sebagainya.
Namun, bila
kemuliaan dan segala perangkat kesempurnaan ini tak pandai disyukuri akan
mengakibatkan murka Allah yang sangat mengerikan. ”Kemudian Kami kembalikan
dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka).” (Q.s. 95: 5)
Adakah
kehinaan dan kenistaan selain mendekam di dalam panasnya neraka, kesengsaraan
dan keabadian dalam penyesalan? Dari struktur kata yang dipakai sangat menarik.
”Asfala sâfilîn” yang secara zhahir berarti tempat terendah di antara
penghuni tempat rendah/dasar neraka.
Meskipun
Ibnu Abbas dalam riwayat yang lain, juga Qatadah, al-Kalbi, adh-Dhahhak dan
Ibrahim an-Nakha’i menafsirkan ayat ini dengan pengembalian Allah terhadap
keadaan manusia seperti semula pada saat ia renta dan pikun, mudah lupa dan
sarat dengan kelemahan.
Orang-orang
yang tak pandai menyukuri nikmat kesempurnaan atau bahkan mendustakan dan
mengingkarinya serta menggunakan karunia Allah untuk hal-hal yang menyebabkan
murka-Nya pada hakikatnya derajat mereka diturunkan, dijatuhkan lebih rendah
dari binatang sekalipun.
Menjaga
Nilai Standar Kebaikan
”Kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih; aka bagi mereka pahala
yang tiada putus-putusnya” (Q.s. 95: 6)
Inilah nilai
standar untuk menjaga kualitas kesempurnaan manusia. Iman dan amal shalih. Iman
dengan berbagai dimensi kepercayaan yang diikuti dan dibuktikan dengan
keseriusan beramal baik dan menjaga kesinambungan serta kualitasnya. Hal inilah
yang menjaga manusia untuk keluar dari rel kesempurnaan. Orang yang memiliki
karakteristik demikian layak mendapat balasan kebaikan dari Allah secara
sempurna pula. Yaitu tidak terkurangi dan bahkan tidak terputus-putus
Imam
Thabrani mengeluarkan sebuah hadits Qudsi yang mengabarkan bahwa jika seorang
hamba diberi cobaan Allah berupa sakit dan ia ridha serta bersyukur atas cobaan
itu, maka saat sembuh, ia bagaikan terlahir kembali dari rahim ibunya,
dosa-dosanya tergugurkan dan mendapatkan pahala sebagaimana saat ia melakukan
kebaikan ketika sehat.
Lemahnya
Alasan Pendustaan Hari Pembalasan
Jika
tanda-tanda di atas sudah demikian jelasnya, lantas apa yang menyebabkan mata
hati manusia tertutup sehingga tak mampu dan tak mau melihat dan menerima
kebenaran yang sangat jelas?
”Maka
apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (Hari) Pembalasan sesudah (adanya
keterangan-keterangan) itu?” (Q.s. 95: 7)
Hanya
orang-orang bodoh saja yang berpaling dari meyakini kepastian Hari Perhitungan
tersebut. Hari tatkala keadilan ditegakkan dan tak ada yang bisa menutup-nutupi
kezhaliman sekecil apapun.
Karena itu,
sangat wajar bila kata ganti yang digunakan mengkhithab di ayat ini adalah
langsung. Yaitu kata ganti kedua ”kamu” (يكذ بـك). Hal ini
sekaligus untuk memberikan tantangan kepada jiwa yang selalu menentang titah
dan perintah Allah yang dibawa oleh utusan-Nya.
”Bukankah
Allah adalah Hakim yang seadil-adilnya?” (Q.s. 95: 8)
Jika
nantinya Allah memuliakan kembali orang beriman dan beramal salih dengan kemuliaan
yang lebih serta memperlakukan orang-orang yang mendustakan dengan balasan azab
dan siksa, maka yang demikian itu bukanlah sebuah kezhaliman. Karena Allah
takkan memurkai dan menyiksa hamba-Nya kecuali setimpal dengan perbuatan dan
kezhalimannya. Jika Allah melebihkan pahala dan balasan kebaikan semata karena
rahmat dan kemurahan Dzat yang serba Maha, maka hal itu sesuai dengan janji-Nya
yang sering diucapkan di sela-sela firman-Nya.
Maka
pertanyaan di akhir surat ini tidaklah untuk dijawab. Karena jawabannya hanya
satu. Yaitu, berupa pembuktian keadilan yang jelas tanpa ada yang
disembunyikan. Karena persaksian yang dihadirkan bukan hanya buku catatan dan
orang-orang lain yang bersangkutan. Namun, berupa bukti otentik yang tak
terbantahkan.
”Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan
berkatalah kepada Kami tangan dan kaki mereka memberi kesaksian terhadap apa
yang dahulu mereka lakukan.” (Q.s. 36: 65)